Makna Ewako dalam Program Kampung Tangguh di Desa Lampoko Kec. Barebbo

1753

Bagi masyarakat di Sulawesi Selatan kata “ewako” bukan sesuatu yang baru. Kata ini merupakan kosakata dalam bahasa Bugis yang bermakna ajakan. Kata “ewako” ini adalah ungkapan yang bertujuan untuk memberikan semangat laga dan motivasi.

Secara harfiah lontara’ Bugis, ewako berasal dari kata ” ewa dan ko ” artinya ” lawan ” dan kata ” ko ” artinya ” kamu sekalian “. Sehingga apabila dirangkai akan menjadi ” ewako ” artinya kamu sekalian harus melakukan perlawanan.

Kata ewako ini sering menjadi ” yel-yel ” dalam sebuah pertandingan dan perlombaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yel-yel adalah pekikan atau sorakan untuk memberi dorongan semangat kepada regunya yang sedang bermain, bertanding dan sebagainya. Jadi Yel-Yel merupakan teriakan khusus untuk memberikan semangat tanding atau laga.

Nah, dalam bahasa Bugis yel-yel ini disebut ” panganjara’ ” yang artinya ungkapan kalimat pendek yang bernilai penyemangat dalam menghadapi segala tantangan. Salah satu contoh kata ” panganjara’ ” adalah ” ewako “.

Contoh kata panganjara’ yaitu, ewako (lawanlah!), magai (kenapa!), itawa’ (lihat aku!), lesseko (minggir kau!). Kata-kata ini diucapkan dengan aksen yang tegas.

Adapun persamaan kata panganjara’ dalam bahasa Bugis adalah ” paccingara ” artinya kata yang mengajak untuk bertarung. Contohnya apabila seseorang yang hendak bertanding, ia tidak peduli lawan yang kuat dan lemah. Ia menyamaratakan kekuatan lawannya. Ia sangat mengandalkan kekuatannya, sehingga memicu semangat dalam dirinya. Ia tidak mau disebut orang tak bernyali.

Kata-kata paccingara ini sering kita dapati dalam olahraga tradisional Bugis seperti “massempe’ (adu tendang) dan ” mallanca ” (adu betis). Ketika seseorang mengelilingi arena dan menjulurkan telapak tangannya kepada seluruh penonton lalu ia melontarkan kata … paccingarai !!! … berarti orang tersebut tidak ada lagi yang ditakuti. Ia mau menerima seluruh yang menantangnya.

Makna kata Ewako dalam Program Kampung Tangguh

Di masa pandemi corona ini, pihak kepolisian resort Bone bekerja sama pemerintah daerah kabupaten Bone membentuk Kampung Tangguh. Dalam program ini menunjuk satu desa untuk dijadikan percontohan. Desa yang ditunjuk sebagai sampel adalah Desa Lampoko Kecamatan Barebbo Kabupaten Bone.

Kampung Tangguh adalah kampung di mana masyarakatnya memiliki keuletan dan kecakapan serta kemampuan dalam menghadapi segala tantangan.

“Kampung yang masyarakatnya patuh dan taat dalam menjalankan segala peraturan dan perundang-undangan yang berlaku terutama dalam menghadapi pandemi COVID-19”

Tujuan dibentuknya kampung tangguh ini, yaitu sebagai kampung/desa percontohan di Kabupaten Bone dalam menerapkan protokol kesehatan di tengah Pandemi COVID-19.

Adapun yel-yel yang digunakan dalam program kampung tangguh tersebut adalah ” Ewako Bone ” artinya Melawanlah Kalian Orang Bone. Dengan demikian hal ini berarti seluruh warga di kampung tersebut harus bersatu secara bersama-sama untuk melawan virus corona.

Adapun cara yang ditempuh untuk melawan virus corona ini, yaitu dengan menerapkan protokol kesehatan, warga harus taat dan patuh terhadap peraturan yang berlaku. Selain itu warga tetap bekerja seperti biasa namun tetap memperhatikan aspek kesehatan. Ia harus menjadi warga yang kreatif dan mandiri.

Penggunaan Yel “Wanua Ewako Bone ” sangat tepat dalam memutus rantai penyebaran COVID-19 di kabupaten Bone. Di mana kesiapsiagaan warga secara menyeluruh di Desa Lampoko diharapkan menular di kampung/desa lain.

Seperti petuah leluhur Bugis yang diungkapkan Bupati Bone Bpk.Dr.H.A.Fahsar M.Padjalangi, M.Si. mengatakan: YA TUTU YA UPE’
YA CAPA’ YA CILAKA artinya yang berhati-hati yang beruntung (selamat), yang lalai yang bakal celaka.

Seperti diketahui, meskipun pemerintah telah menganjurkan berbagai cara, salah satunya adalah pembatasan sosial berskala besar (PSBB) pada wilayah yang tergolong zona merah, namun boleh di kata bahwa aturan tersebut tidak sepenuhnya berjalan mulus seperti yang diharapkan.

Oleh karena itu, dibutuhkan kesadaran masyarakat akan hal itu. Peribahasa Bugis “YA TUTU YA UPE’ YA CAPA’ YA CILAKA” setidaknya bisa menjadi pegangan kita saat ini. Bermakna agar kita selalu berpegang teguh pada sifat kehati-hatian sebelum berbuat dan tidak lalai terhadap anjuran yang ada, terlebih pada kondisi pandemi COVID-19 saat ini.

Ciri seseorang yang penuh kehati-hatian cenderung mendapat keberuntungan dan keselamatan dari berbagai ancaman. Sementara seseorang “yang lalai (macapa’)” terhadap aturan cenderung akan mendapatkan celaka atau malapetaka. Oleh karena itu, di tengah situasi pendemi COVID-19 saat ini, marilah kita bersatu dan patuh terhadap anjuran pemerintah dengan berpegang teguh pada prinsip ” YA TUTU YA UPE’ YA CAPA’ YA CILAKA”.

Kita semua berharap semoga program kampung tangguh WANUA EWAKO BONE tersebut dapat berjalan dengan baik. Dan salah satu filosofi Bugis yang bisa diterapkan agar program ini berjalan baik, yaitu menerapkan Siattinglima, Sitonraola, Tessibelleang artinya mari bergandengan tangan, satukan langkah, dan tidak menghianati kesepakatan bersama.

Dan ini sebagian butir dalam motto Kabupaten Bone SUMANGE’ TEALLARA’ artinya teguh dalam keyakinan kukuh dalam kebersamaa. Akhirnya kita semua berharap Bone akan semakin maju dengan tetap memperhatikan petuah dan budaya Bugis.

Petuah leluhur Bugis tidak ketinggalan zaman melainkan mengikuti arus perkembangan dan dinamika kehidupan. Kearifan Bugis bernilai lokal namun berwawasan nasional. Sebab kearifan Bugis adalah pengetahuan yang sudah teruji dan melahirkan ” esse’ ” atau ilmu. (Mursalim)